PENJELASAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL
May 01, 2017
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009
TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL
Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik I ndonesia Tahun
1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
b.
bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang layak
dan bermartabat, serta untuk memenuhi
hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial,
negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara
terencana, terarah, dan berkelanjutan;
c.
bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sudah tidak sesuai
dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga
perlu diganti;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang
tentang Kesejahteraan Sosial;
Mengingat : Pasal 18A, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan:
1.
Kesejahteraan
Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga
dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
2.
Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan
sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
sosial.
3.
Tenaga
Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara
profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah
sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun
swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.
4.
Pekerja
Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah
maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan
kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan,
dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas
pelayanan dan penanganan masalah sosial.
5.
Relawan
Sosial adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar
belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial,
tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi
sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
6.
Pelaku
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga
kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
7.
Lembaga
Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
8.
Rehabilitasi
Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan
masyarakat.
9.
Perlindungan
Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko
dari guncangan dan kerentanan sosial.
10. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan
untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
11. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
12. Warga Negara adalah warga negara Republik Indonesia yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
15. Menteri
adalah menteri yang membidangi urusan sosial.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan berdasarkan asas:
a.
kesetiakawanan;
b.
keadilan;
c.
kemanfaatan;
d.
keterpaduan;
e.
kemitraan;
f.
keterbukaan;
g.
akuntabilitas;
h.
partisipasi;
i.
profesionalitas; dan
j.
keberlanjutan.
Pasal 3
Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bertujuan:
a. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kelangsungan hidup;
b. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai
kemandirian;
c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani masalah kesejahteraan sosial;
d. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab
sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga
dan berkelanjutan;
e. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan
f. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
BAB III
PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada:
a.
perseorangan;
b.
keluarga;
c.
kelompok; dan/atau
d.
masyarakat.
(2) Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada
mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki
kriteria masalah sosial:
a.
kemiskinan;
b.
ketelantaran;
c.
kecacatan;
d.
keterpencilan;
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f.
korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Pasal 6
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a.
rehabilitasi sosial;
b.
jaminan sosial;
c.
pemberdayaan sosial; dan
d.
perlindungan sosial.
Bagian Kedua
Rehabilitasi Sosial
Pasal 7
(1) Rehabilitasi
sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar.
(2) Rehabilitasi
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif,
motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
(3) Rehabilitasi
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk:
a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b.
perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d.
bimbingan mental spiritual;
e.
bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g.
pelayanan aksesibilitas;
h.
bantuan dan asistensi
sosial;
i.
bimbingan resosialisasi;
j.
bimbingan lanjut; dan/atau
k.
rujukan.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi sosial diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Jaminan Sosial
Pasal 9
(1) Jaminan
sosial dimaksudkan untuk:
a.
menjamin fakir miskin, anak
yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat
mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami
masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.
b.
menghargai pejuang, perintis
kemerdekaan, dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya.
(2) Jaminan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk
asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan.
(3) Jaminan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dalam bentuk
tunjangan berkelanjutan.
Pasal 10
(1) Asuransi
kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga negara yang tidak mampu
membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf kesejahteraan
sosialnya.
(2) Asuransi
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
bantuan iuran oleh Pemerintah.
Pasal 11
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan jaminan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemberdayaan Sosial
Pasal 12
(1) Pemberdayaan
sosial dimaksudkan untuk:
a.
memberdayakan seseorang,
keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial
agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
b.
meningkatkan peran serta
lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(2) Pemberdayaan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. peningkatan kemauan dan kemampuan;
b.
penggalian potensi dan
sumber daya;
c.
penggalian nilai-nilai
dasar;
d. pemberian akses; dan/atau
e.
pemberian bantuan usaha.
(3) Pemberdayaan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b.
pelatihan keterampilan;
c.
pendampingan;
d. pemberian stimulan modal, peralatan usaha, dan tempat
usaha;
e.
peningkatan akses pemasaran
hasil usaha;
f.
supervisi dan advokasi
sosial;
g.
penguatan keserasian sosial;
h.
penataan lingkungan;
dan/atau
i.
bimbingan lanjut.
(4) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan dalam bentuk:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b.
penguatan kelembagaan
masyarakat;
c. kemitraan dan penggalangan dana; dan/atau
d.
pemberian stimulan.
Pasal 13
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan pemberdayaan sosial diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Perlindungan Sosial
Pasal 14
(1) Perlindungan
sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan
kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.
(2) Perlindungan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a.
bantuan sosial;
b.
advokasi sosial; dan/atau
c.
bantuan hukum.
Pasal 15
(1) Bantuan
sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang
mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
(2) Bantuan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan/atau
berkelanjutan dalam bentuk:
a.
bantuan langsung;
b.
penyediaan aksesibilitas;
dan/atau
c.
penguatan kelembagaan.
Pasal 16
(1) Advokasi
sosial dimaksudkan untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga, kelompok,
dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya.
(2) Advokasi
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk penyadaran hak
dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan hak.
Pasal 17
(1) Bantuan
hukum diselenggarakan untuk mewakili kepentingan warga negara yang menghadapi
masalah hukum dalam pembelaan atas hak, baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
(2) Bantuan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk pembelaan dan
konsultasi hukum.
Pasal 18
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan perlindungan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Pasal 19
Penanggulangan
kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap
orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau
mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak
bagi kemanusiaan.
Pasal 20
Penanggulangan
kemiskinan ditujukan untuk:
a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar
serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan
keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak dasar;
c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan
sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan
seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara
berkelanjutan; dan
d.
memberikan rasa aman bagi
kelompok masyarakat miskin dan rentan.
Pasal 21
Penanggulangan
kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk:
a.
penyuluhan dan bimbingan
sosial;
b.
pelayanan sosial;
c. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
d. penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;
e.
penyediaan akses pelayanan
pendidikan dasar;
f.
penyediaan akses pelayanan
perumahan dan permukiman; dan/atau
g.
penyediaan akses pelatihan,
modal usaha, dan pemasaran hasil usaha.
Pasal 22
Pelaksanaan
penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 menjadi tanggung
jawab Menteri.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kemiskinan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 24
(1) Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab:
a.Pemerintah;
dan
b.Pemerintah
daerah.
(2) Tanggung
jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Tanggung
jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan:
a.
untuk tingkat provinsi oleh
gubernur;
b. untuk tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota.
Bagian Kedua
Pemerintah
Pasal 25
Tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial
meliputi:
a. merumuskan kebijakan dan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
b. menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
c. melaksanakan rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
e. mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha
dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya;
f. meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya
manusia di bidang kesejahteraan sosial;
g.
menetapkan standar
pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan
sosial;
h.
melaksanakan analisis dan
audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas pembangunan;
i. menyelenggarakan pendidikan dan penelitian kesejahteraan
sosial;
j. melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
k. mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tingkat nasional dan internasional dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
l. memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan
nasional;
m. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial; dan
n.
mengalokasikan anggaran
untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Pasal 26
Wewenang Pemerintah
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a.
penetapan kebijakan dan
program penyelenggaraan kesejahteraan sosial selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
b. penetapan standar pelayanan minimum, registrasi,
akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;
c. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
d. pelaksanaan kerja sama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan negara lain, dan lembaga kesejahteraan sosial, baik
nasional maupun internasional;
e.
pemberian izin dan
pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial;
f. pendayagunaan dana yang berasal dari dunia usaha dan
masyarakat;
g. pemeliharaan taman makam pahlawan dan makam pahlawan
nasional; dan
h. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah
Pasal 27
Tanggung jawab pemerintah provinsi dalam menyelenggarakan kesejahteraan
sosial meliputi:
a.
mengalokasikan anggaran
untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial lintas
kabupaten/kota, termasuk dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Pasal 28
Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang bersifat lintas kabupaten/kota selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional di bidang kesejahteraan sosial;
b. penetapan kebijakan kerja sama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan lembaga kesejahteraan sosial nasional;
c.
pemberian izin dan
pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial sesuai dengan
kewenangannya;
d. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
e. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
f. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Pasal 29
Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial meliputi:
a.
mengalokasikan anggaran
untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
b.
melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di wilayahnya/bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan;
c.
memberikan bantuan sosial
sebagai stimulan kepada masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan
sosial.
Pasal 30
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan nasional dan provinsi
di bidang kesejahteraan sosial;
b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di wilayahnya;
c.
pemberian izin dan
pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial sesuai dengan
kewenangannya;
d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
Pasal 31
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan koordinasi dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
BAB VI
SUMBER DAYA PENYELENGGARAAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 32
Sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a.
sumber daya manusia;
b.
sarana dan prasarana; serta
c.
sumber pendanaan.
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia
Pasal 33
(1) Sumber
daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a terdiri atas:
a.
tenaga kesejahteraan sosial;
b.
pekerja sosial profesional;
c.
relawan sosial; dan
d.
penyuluh sosial.
(2) Tenaga
kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d
sekurang-kurangnya memiliki kualifikasi:
a.
pendidikan di bidang
kesejahteraan sosial;
b.
pelatihan dan keterampilan
pelayanan sosial; dan/atau
c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.
Pasal 34
(1) Tenaga
kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d
dapat memperoleh:
a.
pendidikan;
b.
pelatihan;
c.
promosi;
d.
tunjangan; dan/atau
e.
penghargaan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 35
(1) Sarana
dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b meliputi:
a.
panti sosial;
b.
pusat rehabilitasi sosial;
c.
pusat pendidikan dan
pelatihan;
d.
pusat kesejahteraan sosial;
e.
rumah singgah;
f.
rumah perlindungan sosial.
(2) Sarana
dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki standar minimum yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Sumber Pendanaan
Pasal 36
(1) Sumber
pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c meliputi:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.
anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
c.
sumbangan masyarakat;
d.
dana yang disisihkan dari
badan usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan;
e. bantuan asing sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan
peraturan perundang-undangan; serta
f. sumber pendanaan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengalokasian sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Usaha pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan yang berasal dari
masyarakat bagi kepentingan kesejahteraan sosial selain sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
BAB VII
PERAN MASYARAKAT
Pasal 38
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh:
a.
perseorangan;
b.
keluarga;
c.
organisasi keagamaan;
d.
organisasi sosial
kemasyarakatan;
e.
lembaga swadaya masyarakat;
f.
organisasi profesi;
g.
badan usaha;
h.
lembaga kesejahteraan
sosial; dan
i. lembaga kesejahteraan sosial asing.
(3) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk
mendukung keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 39
(1) Organisasi
profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf f, terdiri atas :
a. ikatan pekerja sosial profesional;
b. lembaga pendidikan pekerjaan sosial; dan
c.
lembaga kesejahteraan
sosial.
(2) Untuk
menjaga dan menegakkan profesionalisme, organisasi profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menetapkan kode etik.
Pasal 40
Peran badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf g dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dilakukan sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 41
Pemerintah memberikan
penghargaan dan dukungan kepada masyarakat yang berperan dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Pasal 42
(1) Untuk melaksanakan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dapat dilakukan koordinasi antar lembaga/organisasi
sosial.
(2) Pelaksanaan koordinasi peyelenggaraan kesejahteraan
sosial oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan
membentuk suatu lembaga koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah dan
bersifat terbuka, independen, serta mandiri.
(3) Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk pada tingkat nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota.
(4) Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial baik pada tingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
bersifat otonom, dan bukan merupakan lembaga yang mempunyai hubungan hierarki.
Pasal 43
Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial mempunyai tugas:
a. mengkoordinasikan organisasi/lembaga sosial;
b. membina organisasi/lembaga sosial;
c. mengembangkan model pelayanan kesejahteraan sosial;
d. menyelenggarakan forum komunikasi dan konsultasi
penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
e. melakukan advokasi sosial dan advokasi anggaran terhadap
lembaga/organisasi sosial.
Pasal 44
Pembentukan lembaga koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN LEMBAGA
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 46
(1) Setiap
lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial wajib mendaftar kepada
kementerian atau instansi di bidang sosial sesuai dengan wilayah kewenangannya.
(2) Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cepat, mudah, dan tanpa
biaya.
Pasal 47
Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib mendata lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan
sosial.
Pasal 48
Lembaga kesejahteraan
sosial asing dalam melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf i wajib memperoleh izin dan melaporkan
kegiatannya kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 49
Pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 dikenai
sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara dari
kegiatan;
c.
pencabutan izin; dan/atau
d.
denda administratif.
Pasal 50
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pendaftaran bagi lembaga yang menyelenggarakan
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, dan pemberian izin
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi lembaga kesejahteraan sosial asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, serta mekanisme pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
AKREDITASI DAN SERTIFIKASI
Pasal 51
(1) Akreditasi dilakukan terhadap lembaga di bidang
kesejahteraan sosial.
(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk menentukan tingkat kelayakan dan standardisasi
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 52
(1) Sertifikasi
dilakukan untuk menentukan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai di bidang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(2) Sertifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk sertifikat.
(3) Sertifikat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pekerja sosial profesional
dan tenaga kesejahteraan sosial yang telah menyelesaikan suatu pendidikan
dan/atau pelatihan.
(4) Sertifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada pekerja sosial
profesional dan tenaga kesejahteraan sosial oleh lembaga sertifikasi.
(5) Pemberian
sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan atas rekomendasi
organisasi profesi sesuai dengan kewenangannya sebagai pengakuan terhadap
kompetensi melakukan praktek pekerjaan sosial.
(6) Sertifikat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah lulus uji kompetensi
sebagai pengakuan terhadap kompetensi dalam melakukan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial tertentu.
Pasal 53
Ketentuan lebih
lanjut mengenai akreditasi dan sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN SERTA PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 54
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas
pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya
masing-masing.
(2) Masyarakat
dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas pelaku
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 55
(1) Pemerintah
dan pemerintah daerah melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pemantauan
dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai bentuk
akuntabilitas dan pengendalian mutu penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pasal 56
Pembinaan dan
pengawasan, serta pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
dan Pasal 55 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 57
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3039) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 58
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang
ini.
Pasal 59
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling
lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 60
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 12
PENJELASAN
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2009……….
TENTANG
KESEJAHTERAAN
SOSIAL
I.
UMUM
Pembangunan kesejahteraan sosial
merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima Pancasila
menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Permasalahan kesejahteraan sosial yang
berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi
hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan
sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan
pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak
dan bermartabat.
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk
memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bagi fakir miskin dan anak
terlantar seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sebagai
perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas
kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.
Dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial, diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan,
keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan
sosial, maupun lembaga kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan
sosial yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan.
Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
dasar warga negara, serta untuk menghadapi tantangan dan perkembangan
kesejahteraan sosial di tingkat lokal, nasional, dan global, perlu dilakukan
penggantian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial. Materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara
lain, pemenuhan hak atas kebutuhan dasar, penyelenggaraan kesejahteraan sosial
secara komprehensif dan profesional, serta perlindungan masyarakat. Untuk
menghindari penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial, Undang-Undang ini juga mengatur pendaftaran dan perizinan serta sanksi
administratif bagi lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Dengan
demikian, penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat memberikan keadilan sosial
bagi warga negara untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.
II.
PASAL DEMI
PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas
kesetiakawanan” adalah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus
dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang membutuhkan
pertolongan dengan empati dan kasih sayang (Tat Twam Asi).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keadilan”
adalah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus menekankan pada aspek
pemerataan, tidak diskriminatif dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas
kemanfaatan” adalah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus memberi
manfaat bagi peningkatan kualitas hidup warga negara.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas
keterpaduan” adalah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus
mengintegrasikan berbagai komponen yang terkait sehingga dapat berjalan secara
terkoordinir dan sinergis.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kemitraan”
adalah dalam menangani masalah kesejahteraan sosial diperlukan kemitraan antara
Pemerintah dan masyarakat, Pemerintah sebagai penanggung jawab dan masyarakat
sebagai mitra Pemerintah dalam menangani permasalahan kesejahteraan sosial dan
peningkatan kesejahteraan sosial.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas
keterbukaan” adalah memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas
akuntabilitas” adalah dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas partisipasi”
adalah dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus melibatkan
seluruh komponen masyarakat.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas
profesionalitas” adalah dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial
kepada masyarakat agar dilandasi dengan profesionalisme sesuai dengan lingkup
tugasnya dan dilaksanakan seoptimal mungkin.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas
keberlanjutan” adalah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial dilaksanakan
secara berkesinambungan, sehingga tercapai kemandirian.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan “memulihkan fungsi sosial” adalah pengembangan dan peningkatan kualitas
diri, baik secara psikologis, fisik, sosial, maupun potensi diri lainnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Seseorang yang
mengalami disfungsi sosial antara lain penyandang cacat fisik, cacat mental,
cacat fisik dan mental, tuna susila, gelandangan, pengemis, eks penderita
penyakit kronis, eks narapidana, eks pecandu narkotika, pengguna psikotropika
sindroma ketergantungan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), korban tindak kekerasan,
korban bencana, korban perdagangan orang, anak terlantar, dan anak dengan
kebutuhan khusus.
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan “koersif” yaitu tindakan pemaksaan dalam proses rehabilitasi sosial.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan “asuransi kesejahteraan sosial” yaitu asuransi yang secara khusus
diberikan kepada warga negara tidak mampu dan tidak terakses oleh sistem
asuransi sosial pada umumnya yang berbasis pada kontribusi peserta.
Yang dimaksud
dengan “bantuan langsung berkelanjutan” yaitu bantuan yang diberikan secara
terus menerus untuk mempertahankan taraf kesejahteraan sosial dan upaya untuk
mengembangkan kemandirian.
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan “tunjangan berkelanjutan” yaitu bantuan yang diberikan kepada perintis
kemerdekaan dan putra-putri pahlawan nasional antara lain dalam bentuk
tunjangan kesehatan dan tunjangan pendidikan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud
dengan “yang mengalami masalah kesejahteraan sosial” yaitu mereka yang miskin,
terpencil, rentan sosial ekonomi.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan “lembaga dan/atau perseorangan” antara lain organisasi sosial, lembaga
konsultasi kesejahteraan keluarga, karang taruna, pekerja sosial masyarakat.
Yang dimaksud
dengan “potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial”,
antara lain: nilai kepahlawanan, kejuangan, dan keperintisan, kesetiakawanan
sosial dan kearifan lokal, peranserta organisasi sosial/lembaga sosial swadaya
masyarakat, kerelawanan sosial (tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, karang
taruna, pekerja sosial masyarakat), tanggung jawab sosial dunia usaha,
penggalangan dana sosial, dan ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan
kesejahteraan sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan “guncangan dan kerentanan sosial” yaitu keadaan tidak stabil yang
terjadi secara tiba-tiba sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi,
politik, bencana, dan fenomena alam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bentuk bantuan
sosial antara lain makanan pokok, pakaian, tempat tinggal (rumah penampungan
sementara), dana tunai, perawatan kesehatan dan obat-obatan, akses pelayanan
dasar (kesehatan, pendidikan), bimbingan teknis/supervisi, dan penyediaan
pemakaman.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang termasuk
pusat kesejahteraan sosial antara lain pesantren dan rumah adat.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang termasuk
“organisasi sosial kemasyarakatan” antara lain organisasi kepemudaan, dan
paguyuban.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud
dengan “lembaga sertifikasi” yaitu lembaga independen yang menjamin mutu
kompetensi dan kualifikasi bagi pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial
dalam pelayanan kesejahteraan sosial.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4967