-->

Ads

PANDANGAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN MENGENAI KESEJAHTERAAN SOSIAL

 PANDANGAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN MENGENAI KESEJAHTERAAN SOSIAL

Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan keluarga, bukanlah persoalan yang mudah. Kendala untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam keluarga, lebih banyak mempunyai muatan kualitatif akan senantiasa muncul, baik yang bersumber dari faktor eksternal maupun internal institusi keluarga itu sendiri. Adanya keterbatasan yang terdapat pada individu anggota keluarga dalam berbagai dimensinya, serta semakin kecilnya akses dan kemampuan untuk menguasai sumberdaya yang ada di lingkungannya, merupakan faktor-faktor yang harus diperhitungkan. Kondisi geografis, sosial dan kultural yang melingkupi kehidupan keluarga di mana keluarga itu tinggal, sangat berpengaruh terhadap penilaiannya mengenai kesejahteraan keluarga.
Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di Tanah Air, terutama setelah Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999. Data dari BPS (1999) memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin secara hampir sama di wilayah pedesaan dan perkotaan. Secara agregat, prosentase peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memang lebih besar di wilayah pedesaan (7,78 %) dibandingkan dengan di perkotaan (4,72 %). Akan tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang miskin meningkat sekitar 140 persen atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan sekitar 105 persen atau 16,6 juta jiwa (Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).

Terdapat kecenderungan di mana krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah orang yang bekerja di sektor informal. Merosotnya pertumbuhan ekonomi dan dirampingkannya struktur industri formal telah mendorong orang untuk memasuki sektor informal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhadap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern telah menurunkan jumlah pekerja formal dari 35 persen menjadi 30 persen. Menurut Tambunan (2000), sedikitnya setengah dari pengangguran baru tersebut diserap oleh sektor informal dan industi kecil dan rumah tangga lainnya. Pada sektor informal perkotaan, khususnya yang menyangkut kasus pedagang kaki lima, peningkatannya bahkan lebih dramatis lagi. Di Jakarta dan Bandung misalnya, pada periode akhir 1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300 persen (Kompas, 23 November 1998; Pikiran Rakyat, 11 Oktober 1999). Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar. Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam kondisi miskin dan rentan.

Istilah kesejahteraan sosial tidak merujuk pada suatu kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Pada umumnya, orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, di lain pihak orang miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya orang kaya. Artinya, kondisi sejahtera dari seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat disesuaikan dengan sudut pandang yang dipakai. Dalam batas ini kesejahteraan sosial sangat sulit untuk didefinisikan. Meski begitu, bukan berarti kesejahteraan sosial tidak dapat didefinisikan.

Menurut Suharto (2004), kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Konsepsi pertama dari kesejahteraan sosial lebih tepat untuk dicermati dalam kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan keluarga. Inti konsepsi pertama dari kesejahteraan sosial adalah : “kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial”. Dengan demikian, istilah kesejahteraan keluarga sering diartikan sebagai kondisi sejahtera yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala kebutuhan-kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan.

Diakui atau tidak, upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan keluarga, bukanlah persoalan yang mudah. Kendala-kendala untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam keluarga, lebih banyak mempunyai muatan kualitatif akan senantiasa muncul, baik yang bersumber dari faktor eksternal maupun internal institusi keluarga itu sendiri. Adanya keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada individu anggota keluarga dalam berbagai dimensinya, serta semakin kecilnya akses dan kemampuan untuk menguasai sumber daya yang ada di lingkungannya, merupakan faktor-faktor yang harus diperhitungkan. Kondisi geografis, sosial dan kultural yang melingkupi kehidupan keluarga di mana keluarga itu tinggal, sangat berpengaruh terhadap penilaiannya mengenai kesejahteraan keluarga. Di sisi lain, fenomena kesejahteraan keluarga sesungguhnya merupakan realitas sosio-budaya yang penuh makna dan simbol serta menyangkut pola perilaku. Oleh karena itu, perlu pendekatan mikro obyektif untuk dapat memahami konsepsi kesejahteraan keluarga menurut masyarakat lokal (masyarakat perkotaan).

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dilihat di sini adalah sebagai berikut : (1) Tindakan kolektif apa yang dilakukan oleh keluarga miskin perkotaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari guna meningkatkan kesejahteraan keluarga; dan (2) Bagaimana pandangan keluarga miskin perkotaan mengenai kesejahteraan keluarga.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kesejahteraan keluarga itu menurut masyarakat miskin perkotaan. Selain itu, juga ingin mengetahui ukuran-ukuran apa yang digunakan oleh masyarakat miskin perkotaan dalam mendefinisikan kesejahteraan keluarga.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel