-->

Ads

Defenisi dan Konsep Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan Keluarga

Prioritas utama dalam kesejahteraan sosial adalah, kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya keluarga miskin. Di mana dalam kesejahteraan sosial ini, dilakukan berbagai cara dan pelayanan agar keluarga-keluarga miskin dapat meningkatkan kualitas hidupnya menuju pada keluarga sejahtera lahir dan batin, yaitu dengan dapat terpenuhi semua kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Namun, istilah kesejahteraan sosial tidak merujuk pada suatu kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli yang lain. Pada umumnya, orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, di lain pihak orang yang miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya orang kaya. Artinya, kondisi sejahtera dari seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat disesuaikan dengan sudut pandang yang dipakai.

Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup konsepsi antara lain, yaitu : “Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial”. Dengan demikian, secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi “sejahtera”, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti ini, menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan (end) dari suatu kegiatan pembangunan. Misalnya, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Dengan demikian, prioritas utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan(Suharto, 2005:1-5).

Di dalam rangka membangun keluarga sejahtera yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram dan harapan masa depan yang baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin, maka suami dan isteri harus melaksanakan peranan dan/atau fungsi sesuai dengan kedudukannya. Dengan demikian, keluarga akan merupakan suatu unit terkecil dalam masyarakat yang bukan hanya berfungsi sosial budaya, tetapi juga berfungsi ekonomi. Apabila tekanan fungsi keluarga secara tradisional adalah fungsi reproduktif - yang dari generasi ke generasi mengulangi fungsi yang sama – kemudian telah berkembang ke fungsi sosial budaya. Namun, belakangan ini keluarga diandalkan untuk suatu tugas yang lebih luhur yaitu, sebagai wahana mencapai tujuan pembangunan. Hal ini menyebabkan keluarga perlu mempersiapkan diri dalam keterlibatannya sebagai agen pembangunan di sektor ekonomi produktif (Yaumil C. Agus Achir, 1994).

Menurut Soetjipto (1992), kesejahteraan keluarga adalah terciptanya suatu keadaan yang harmonis dan terpenuhinya kebutuhan jasmani serta sosial bagi anggota keluarga, tanpa mengalami hambatan yang serius di dalam keluarga, dan dalam menghadapi masalah-masalah keluarga akan mudah untuk di atasi secara bersama oleh anggota keluarga, sehingga standar kehidupan keluarga dapat terwujud. Konsepsi tersebut mengandung arti bahwa, kesejahteraan keluarga adalah suatu kondisi yang harus diciptakan oleh keluarga dalam membentuk keluarga yang sejahtera. Adapun keluarga sejahtera merupakan model yang dihasilkan dari usaha kesejahteraan keluarga.

Mengingat kesejahteraan keluarga sifatnya kondisional, tentu perlu adanya ukuran-ukuran  dari keadaan tersebut. Dengan kata lain, ada indikator-indikator minimal yang harus dicapai oleh setiap keluarga. Dengan demikian, sebuah keluarga yang dapat memenuhi indikator-indikator yang ada, yaitu indikator-indikator yang digunakan untuk mencapai taraf keluarga sejahtera seperti apa yang tercantum dalam Buku Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera (seperti yang ditetapkan oleh BKKBN, terdapat 22 indikator), maka keluarga tersebut dapat dikatakan keluarga yang sejahtera (Prisma, 1994).

Seperti juga yang dikatakan Noerhadi (1982) dan Twikromo (1995), persepsi dapat juga diartikan sebagai pandangan seseorang terhadap obyek atau peristiwa sosial yang diamati. Jika kesejahteraan merupakam hasil dari proses pembelajaran manusia dalam hidupnya, maka persepsi tentang kesejahteraan tersebut akan terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya (keluarga, kelompok dan masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan itu sendiri adalah, wujud kebudayaan dan persepsi mengenai kesejahteraan terbentuk melalui proses interaksi sosial dari perwujudan kesejahteraan tersebut. Sebaliknya, persepsi yang terbentuk tersebut pada akhirnya mempengaruhi perilaku dalam proses perwujudan kesejahteraan. Persepsi kesejahteraan merupakan hasil konstruksi sosial. Perbedaan status sosial budaya dan spesialisasi  kerja, akan menghasilkan persepsi kesejahteraan yang berbeda.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel