Mekanisme Survival Penduduk Miskin Perkotaan
May 01, 2017
Mekanisme Survival Penduduk Miskin Perkotaan
Di wilayah perkotaan, kemiskinan sesungguhnya adalah sebuah fenomena sosial yang kontradiktif. Di balik pertumbuhan kota-kota besar yang makin gigantis dan berkembang menjadi daerah industri yang meraksasa, ternyata acapkali terselip kehidupan masyarakat yang termarginalisasi dan miskin akibat tak mampu bersaing dalam kerasnya kehidupan kota. Di sela-sela gedung yang menjulang dan perkembangan berbagai pusat perbelanjaan super mewah, ternyata di sana dengan mudah ditemui rumah-rumah petak, pemukiman liar, dan bahkan rumah-rumah kardus yang dihuni penduduk miskin kota.Yang termasuk penduduk miskin kota ini, mereka bukan hanya kaum migran yang berasal dari desa, tetapi tidak sedikit yang menderita kemiskinan di kota adalah penduduk asli setempat yang sejak awal sebelum kota berkembang sudah tergolong miskin berpendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian yang berguna dalam kegiatan industri, sehingga mereka tersingkir dari kegiatan perekonomian perkotaan karena ketidakmampuan mereka turut berpartisipasi dan memanfaatkannya (Suparlan, 2004: 259).
Penduduk miskin kota cenderung hidup di perkampungan kumuh, dan bahkan sebagian di antaranya hidup di pemukiman liar atau di zona-zona publik, akibat tidak lagi memiliki aset produksi yang dapat diandalkan untuk menopang kelangsungan kehidupannya. Sebagian besar penduduk miskin kota biasanya menjadi pekerja upahan di pabrik-pabrik atau pusat-pusat kegiatan perdagangan dan jasa, menjadi pedagang kecil atau penjual jasa di sektor informal, dan bahkan terkadang ada di antara mereka yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pelacuran, perjudian dan berbagai tindak kejahatan, baik perorangan maupun kelompok.
Yang disebut penduduk miskin di kota sebetulnya tidak berbeda dengan penduduk miskin di pedesaan. Karakteristik yang menandai penduduk miskin kota adalah mereka umumnya tidak atau kurang berpendidikan, sebagian bekeja di sektor informal, dan secara ekonomi cenderung rentan. Kendati secara administratif, status mereka adalah bagian sah dari warga kota, dan bukan migran, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kadar kerentanan dan kondisi ekonomi penduduk miskin kota umumnya tidak jauh berbeda dengan migran.
Dengan kemampuan dan keahlian yang serba terbatas, harus diakui memang tidak banyak pilihan yang dapat dikembangkan penduduk miskin kota untuk mencari pekerjaan alternatif. Dari hasil wawancara diketahui bahwa, sebagian besar penduduk miskin kota umumnya tidak banyak menguasai ragam ketrampilan alternatif yang dapat dipakai untuk melakukan diversifikasi usaha atau mencari pekerjaan sampingan. Namun demikian, di tengah lesunya kondisi perekonomian dan bisnis properti, maka kesempatan untuk bekerja sebagai buruh bangunan umumnya sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada. Saat ini, upaya realistis yang banyak dikembangkan penduduk miskin kota untuk bertahan hidup adalah, berusaha memperkecil rasio ketergantungan dengan cara seluruh anggota keluarga sejauh memungkinkan akan berusaha untuk bekerja dan mencari sumber-sumber penghasilan alternatif yang dapat memperkuat tiang penyangga ekonomi keluarga.
Di kalangan keluarga miskin di kota, tidak jarang terjadi penghasilan yang diperoleh ibu dan anak terkadang lebih besar daripada penghasilan bapak. Bahkan, ketika harga BBM naik dan sebagian kepala keluarga menjadi korban PHK, ternyata yang mampu menopang kelangsungan hidup keluarga miskin adalah sosok ibu dan anak. Berbeda dengan sektor-sektor yang banyak didominasi laki-laki, yang ternyata rentan terjadi PHK, sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan dan anak seringkali justru lebih mampu survive dari tekanan dan ancaman krisi maupun efek domino dari kebijakan harga BBM.
Ada banyak cara dan mekanisme yang dikembangkan penduduk miskin di kota untuk bertahan dan melangsungkan kehidupannya. Ketika tekanan kebutuhan hidup makin kuat dirasakan, sementara kondisi ekonomi keluarga tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan itu, maka mau tidak mau yang harus dilakukan adalah bagaimana mengembangkan berbagai upaya untuk menyiasati tekanan dan persoalan kemiskinan yang dihadapi.
Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika penduduk miskin kota yang setiap hari harus bekerja berat, ternyata setiap harinya jatah makan mereka dikurangi. Memang, untuk jangka pendek, mengurangi frekuensi makan merupakan jalan keluar yang paling pragmatis untuk menyiasati tekanan kemiskinan. Tetapi, dalam jangka panjang cara seperti ini sesungguhnya sangat berisiko, sebab jika seseorang mengeluarkan tenaga ekstra, tetapi pasokan energi yang masuk malah berkurang, maka jangan heran jika efeknya kemudian malah makin memberatkan. Seperti sudah disinggung di depan, bahwa salah satu anggota keluarga yang paling rentan terserang penyakit adalah bapak. Boleh jadi, faktor penyebab bapak lebih mudah terserang penyakit ini karena merekalah yang terpaksa mengurangi frekuensi dan kualitas menu makanan, sementara di saat yang sama tetap harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
Di kalangan penduduk miskin di kota, utang boleh dikatakan adalah hal yang lazim dan paling populer. Mekanisme gali lubang tutup lubang bagi penduduk miskin adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan, karena memang hanya dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk melangsungkan kehidupannya. Berbeda dengan keluarga yang secara ekonomi mapan dan biasanya memiliki tabungan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendadak. Yang namanya keluarga miskin di kota rata-rata kehidupan sehari-harinya sangat rentan, tidak memiliki tiang penyangga atau tabungan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendadak, sehingga ketika kebutuhan itu sudah ada di depan mata, maka tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali utang ke sana-sini, termasuk utang ke rentenir yang acapkali meminta beban bunga yang tinggi.
Pengalaman selama ini, sebetulnya sudah banyak mengajarkan kepada mereka bahwa utang adalah salah satu roda penggerak kemiskinan yang membuat kehidupan orang miskin menjadi makin sulit. Sebuah keluarga miskin yang terperangkap utang dan terpaksa menjual barang-barangnya untuk membayar utang itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka umumnya akan masuk dalam pusaran spiral kemiskinan yang membuat posisi mereka menjadi lebih tidak berdaya lagi. Kalau diperkenankan memilih, yang namanya keluarga miskin di kota sudah berusaha menghindari dari perangkap utang. Tetapi, diakui oleh sebagian besar responden bahwa menghindarkan diri dari perangkap utang sesungguhnya bukanlah hal yang mudah.
Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi tekanan kemiskinan dan kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-keluarga miskin di kota sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden mengaku bahwa selama ini mereka telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai langkah penghematan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau melakukan diversifikasi usaha. Tetapi, disadari bahwa mencoba mengembangkan langkah-langkah antisipatif seperti diuraikan di atas, ternyata sangat sulit, bahkan nyaris mustahil. Keinginan responden untuk menambah jam kerja agar hasil yang diperoleh lebih banyak. Demikian pula upaya-upaya seperti melakukan diversifikasi usaha, penghematan, mendayagunakan tenaga kerja keluarga dan sebagainya, menurut responden juga sulit atau bahkan sangat sulit karena faktor-faktor yang sifatnya struktural.
Dengan kondisi yang serba kekurangan, dan tidak didukung aset produksi yang memadai, maka yang dapat dilakukan keluarga miskin saat ini pada akhirnya hanyalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup, dan berusaha semaksimal mungkin agar tidak tergerus pusaran krisis yang akan semakin menyengsarakan mereka. Bagi keluarga miskin di kota, mereka sebetulnya tidak pernah terlalu berani berharap bahwa mereka akan dapat melakukan mobilitas vertikal dengan cepat atau menjadi orang yang mapan tanpa harus dibayang-bayangi tagihan utang. Bagi orang miskin, asalkan mereka dapat bertahan hidup dan tidak makin miskin, sesungguhnya hal itu sudah merupakan kemewahan tersendiri.
Secara teoritis, sesungguhnya ada dua faktor yang membuat penduduk miskin di kota senantiasa mampu bertahan dari waktu ke waktu melewati tekanan kemiskinan dan situasi krisis. Pertama, karena penduduk miskin memiliki kemampuan survival yang sangat ligat, kenyal menghadapi tantangan, dan karenanya senantiasa mampu survive dari tekanan sekeras apapun. Kedua, karena penduduk miskin memiliki kohesi sosial dan dukungan dari kelompoknya yang berfungsi sebagai asuransi sosial atau jaring pengaman.
Bagi penduduk miskin, keberadaan kelompok dan kohesi sosial yang kuat, merupakan sesuatu yang fungsional – semacam garansi sosial untuk mendukung kelangsungan penduduk miskin, terutama ketika mereka menghadapi masalah. Dengan modal yang terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada, dan juga karena koneksi yang serba terbatas, disadari responden bahwa ruang gerak mereka untuk berkembang dan mengembangkan usahanya menjadi sangat sempit. Di tengah kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, memang tidak mudah bagi penduduk miskin di kota untuk mempertahankan apalagi mengembangkan usahanya. Alih-alih maju, bahkan sebagian besar responden khawatir justru usaha yang mereka tekuni collapse akibat daya beli masyarakat yang menurun drastis, sementara biaya produksi yang dikeluarkan justru naik karena efek domino dari krisis ekonomi.
Kemungkinan mencari pekerjaan alternatif, disadari responden juga bukan hal yang mudah, kendati di kota keberadaan sektor informal acapkali disebut sangat fleksibel dan memiliki kemampuan involutif yang luar biasa. Tetapi, tanpa didukung koneksi dan modal yang cukup, tentu tidak serta merta mereka dapat mengembangkan usahanya seketika. Dalam setahun terakhir, disadari responden bahwa situasi sektor riil di lapangan memang cenderung lesu, dan masing-masing orang umumnya sibuk mengatasi permasalahannya sendiri-sendiri. Berbeda dengan komunitas pedagang besar yang biasanya mempunyai jejaring yang kuat dan akses yang terbuka terhadap sumber-sumber keuangan perbankan, untuk penduduk miskin kota rata-rata mereka tidak memiliki akses yang cukup, sehingga kesempatan untuk memperoleh bantuan atau pinjaman modal usaha sepertinya nyaris mustahil.
Berbeda dengan kaum migran yang memiliki kohesi sosial yang kuat dan acapkali masih terbiasa mengembangkan hubungan sosial saling tolong-menolong yang kuat (Hans Dieter Evers, 2002), penduduk miskin kota umumnya ikatan kohesi sosial mereka pelan-pelan tampak mulai memudar. Hal ini tampak, paling tidak dari indikasi berikut : Pertama, menurunnya kemungkinan di antara sesama penduduk miskin di kota untuk mengakses sumber-sumber pinjaman modal tanpa bunga. Kedua, memudarnya pola hubungan patron-client akibat perubahan pola hubungan sosial yang makin kontraktual. Ketiga, makin menyempitnya konsentrasi perkembangan kohesi sosial di tingkat keluarga atau kerabat, dan memudarnya dukungan sosial di tingkat komunitas yang lebih besar.
Sebagian responden menyatakan bahwa terlibat dalam perkumpulan atau asosiasi sosial tertentu, dalam beberapa hal justru seringkali membebani. Iuran dan berbagai kewajiban sosial lain, bagi penduduk miskin di kota terkadang justru memberatkan karena tidak selalu mereka memiliki cadangan uang atau simpanan yang cukup untuk membiayai hal-hal seperti itu.
Bagi penduduk miskin kota, memudarnya daya kohesi sosial di antara sesama memang pada akhirnya menyebabkan daya kohesi sosial pada akhirnya makin mengerucut ke lingkaran kerabat atau keluarga inti: saudara. Di tengah tekanan kehidupan kota yang cenderung makin keras, memudarnya pola hubungan sosial dan sebaliknya berkembangnya pola-pola hubungan yang lebih kontraktual, bagaimana pun akan membuat penduduk miskin kota terpaksa pelan-pelan belajar hidup soliter, sembari berharap tidak lagi terjadi pukulan susulan yang benar-benar akan mematikan seluruh daya tahap yang tersisa, yang masih mereka miliki saat ini.